Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Dan Kawasan Hutan di Tumba Desa Tamaila Utara Kabupaten Gorontalo
Tujuan Program
Pengelolaan keanekaragaman dan ekosistem hutan dengan pendekatan sosiokultural (karakter konservasi) yang berbasis kearifan lokal masyarakat sekitar hutan.
Kondisi Ekosistem Di Lokasi Program
Fokus kegiata pada Desa yang terdapat di sekitar bahwa SM Nantu-Boliyohuto dan DAS paguyaman yakni Dusun Tumba, Desa Tamaila Utara, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo.
Secara administratif, Tumba merupakan nama tempat di Dusun Pemukiman Desa Tamaila Utara. Perjalanan ke Tumba bisa ditempuh dengan menggunakan mobil dari bandara Gorontalo sekitar 2 jam ke pusat Desa Tamaila Utara. Dari pusat desa Tamaila Utara, perjalanan dilanjutkan dengan motor ojek karena belum bisa dilalui dengan mobil. Ojek dirancang khusus untuk melewati jalanan yang sedikit ekstrim, berbatu, pendakian yang curam dan turunan yang licin. Perjalanan dari pusat desa Tamaila menuju Tumba bisa ditempuh selama 45 menit.
Tumba dihuni oleh sekitar 250 orang atau sekitar 90 kepala keluarga. Mereka kebanyakan berasal suku dari Gorontalo dan sebagian lagi berasal dari suku Jawa dan sedikit dari suku lainnya seperti melayu Sumatera. Suku Gorontalo adalah masyarakat lokal yang kebanyakan berasal dari Kecamatan Pulubala, Tibawa, Bongomeme dan kecamatan lainnya di Kabupaten Gorontalo. Mereka mencari lahan baru untuk pertanian karena di daerah asalnya sudah tidak ada lahan. Mereka sudah ada disana sejak tahun 1980-an. Sedangkan suku Jawa kebanyakan adalah para keturunan dari transmigran di Paguyaman tahun 1960-an yang kemudian beranak pinak dan membutuhkan lahan pertanian baru.
Masyarakat Tumba menanam tanaman tanaman tahunan seperti kakao, kelapa, cengkih, durian, rambutan, mangga, enau, dan lain-lain. Selain itu ada pisang, ubi, dan jagung dalam jumlah yang sedikit. Saat ini mereka telah menikmati hasilnya. Hasil pertanian dan perkebunan di Tumba menjadi penyambung penghidupan mereka saat ini. Walaupun untuk mengangkut 1 karung hasil tanaman harus dibayar Rp. 50,000/karung, tetapi mereka saat ini telah menikmati hasilnya.
Dari hasil wawancara dan penilaian ketahanan masyarakat, terlihat bahwa perlindungan ekosistem dan keanekaragaman jenis usaha pertanian masih cukup baik. Ini menandakan, sumberdaya alam dan kondisi lingkungan hidup di kawasan Tumba masih relatif bagus. Hal ini bisa dilihat dari diversifikasi tanaman pertanian dan perkebunan di sana. Tidak seperti di 2 desa sebelumnya, jagung bukan tanaman utama dan banyak tanaman perkebunan seperti kakao, kelapa, enau, dan buah-buahan. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa masih banyak petani di Tumba yang mempelajari secara detail bercocok tanam dan mengembangkan pertaniannya. Misalnya untuk kakao, mereka banyak belajar dari penyuluh lapangan dan mempraktekannya pada tanaman mereka seperti bagaimana pembibitan, pencegahan hama, pemangkasan dan pengolahan. Dari sisi kondisi sosial dan infrastruktur, Tumba masih sangat kurang Hal ini bisa dimaklumi karena Tumba miskin dengan infrastruktur. Kawasan ini belum memiliki jaringan listrik. Demikian pula akses transportasi ke Tumba hanya bisa ditempu dengan kendaraan motor ojek khusus untuk medan yang ekstrim. Puskesmas juga belum ada sehingga bila mereka sakit, mereka harus turun ke pusat desa/kecamatan atau langsung ke pusat Kabupaten.
Keadaan umum lokasi dan makna tempat ini secara sosial dan ekonomi dengan masyarakatnya
Kekuatan : Kemauan dan semangat masyarakat Tumba untuk bekerja dibidang pertanian tergolong tinggi hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kelompok tani yang ada di daerah tersebut. Masyarakat tumba saling bersinergi dalam menjaga dan melestarikan potensi keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan dengan cara menolak perusahaan asing yang akan menguasai wilayah tersebut. Terdapat banyak potensi alam yang tersedia dalam upaya pengembangan inovasi dalam pengelolaan pertanian secara alami dan berkelanjutan.
Kelemahan: Sumber biaya, Fasilitas dan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kelompok dampingan dan pendamping masih minim. Akses kelokasi juga menjadi salah satau penghambat, akses hanya bisa dilalui oleh motor ojek karena belum bisa dilalui dengan mobil. Motor ojek yang digunakan umumnya sudah dimodifikasi khusus untuk dapat melewati jalanan yang sedikit ekstrim, berbatu, pendakian yang curam dan turunan yang licin.
Sumber mata pencaharian utama masyarakat tumba adalah Pertanian dan Perkebunan. Sebagaian besar masyarakat menanam tanaman jagung, kakao, kelapa, cingkeh, durian, enau, dan buah-buahan lainnya. Praktek kearifan lokal yang masih dilakukan oleh masyarakat tumba membantu dalam upaya konservasi kawasan hutan dan mendukung upaya pelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati.
Analisis tantangan ekologis, sosial, ekonomi, dan politik
Tantangan Sosial; Kawasan Tumba memiliki status Hutan Produksi yang saat ini menjadi konsesi perusahaan HTI PT. Gorontalo Citra Lestari (Katingen Group). Areal konsesi ini merupakan eks konsesi perusahaan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) PT. Inimex Intra. Perusahaan ini memperoleh Ijin Usaha Pemanfaatan hasil hutan kayu berdasarkan SK Menhut No. 261/Menhut-II/2011 tanggal 12 Mei 2011 pada areal seluas 46.170 ha di Kabupaten Gorontalo. Kehadiran PT. HTI sedikitnya mengusik keberadaan masyarakat Tumba yang saat ini telah menguasai lahan. Mereka khawatir jika lahan yang mereka kuasai akan diambil oleh perusahaan HTI. Saat ini perusahaan HTI telah membuka jalan masuk ke wilayah Tumba tetapi masih sulit ditembus oleh angkutan biasa. Perusahaan juga sudah mulai menanam bibit jabon merah, dan ada lokasi pembibitannya tidak jauh dari Tumba. Hal ini jelas dapat memicu konflik antara masyarakat dan perusahaan.
Tantangan Ekonomi; Adanya perusahan yang bergerak dalam bidang perkebunan yang masuk ke wilayah desa menyebabkan kekhawatiran masyarakat jika lahan yang mereka kuasai akan diambil oleh perusahaan. Masyarakat Tumba menanam tanaman tanaman tahunan seperti kakao, kelapa, cengkih, durian, rambutan, mangga, enau, dan lain-lain. Selain itu ada pisang, ubi, dan jagung dalam jumlah yang sedikit. Biaya transportasi lokal masih dipandang memberatkan, karena untuk mengangkut satu karung hasil tanaman harus dibayar Rp 50.000/karung. Walaupun begitu, Saat ini mereka telah menikmati hasilnya dan menjadi penyambung penghidupan keluarga mereka. Jika keadaan ini diganggu oleh hadirnya perusahaan maka perekonomian masyarakat tumba akan terganggu.
Tantangan Politik; Tumba terletak tepat dibawah kaki gunung Boliyohuto dengan status hutan produksi yang berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto. Belum adanya batas wilayah administrasi yang paten dalam menentukan kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dan belum adanya aturan desa yang mengatur pemanfaatan keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan yang bebasis pada kearifan lokal masyarakat sehingga berpotensi mendatangkan konflik sosial. Tidak hanya itu, dari sisi keadilan sosial dan infrastruktur, Tumba miskin dengan infrastruktur. Kawasan ini belum memiliki jaringan jalan (Transportasi) yang baik, jaringan listrik yang tidak ada. Puskesmas juga belum ada sehingga bila mereka sakit, mereka harus turun ke pusat desa/kecamatan atau langsung ke pusat Kabupaten
Tantangan Ekologis; Tumba dihuni oleh sekitar 250 orang atau sekitar 90 kepala keluarga. Mereka kebanyakan berasal suku dari Gorontalo dan sebagian lagi berasal dari suku Jawa dan sedikit dari suku lainnya seperti melayu Sumatera. Suku Gorontalo adalah masyarakat lokal yang kebanyakan berasal dari Kecamatan Pulubala, Tibawa, Bongomeme dan kecamatan lainnya di Kabupaten Gorontalo. Mereka mencari lahan baru untuk pertanian karena di daerah asalnya sudah tidak ada lahan. Terlebih dengan adanya perusahaan yang akan masuk untuk menguasai kawasan hutan, Hal ini jelas akan berakibat pada pengurangan luasan kawasan hutan yang dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Tidak hanya itu, Penggunaan pupuk dan pestisida sintetis (kimiawi) secara terus-menerus menyebabkan semakin berkurangnya tingkat kesuburan lahan.
Program-program yang diintervensi
- Analisa Vegetasi kawasan hutan;
- Identifikasi/inventarisasi bentuk kearifan lokal kelompok masyarakat serta pemahaman Nilai-nilai sosiokultural, budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar kawasan hutan (3 Kali Focus Group Discussion );
- Revitalisasi kearifan lokal yang dapat mendukung Pengelolaan keanekaragaman dan ekosistem hutan yang lestari (Pengembangan Model Pembelajaran di Sekolah Dasar);
- Menggunakan pupuk dan pestisida alami dengan memanfaatkan Gulma Siam (Chromolema odorata) sebagai bahan baku, pada lahan pertanian jagung maupun tanaman budidaya lainnya (Pembuatan pestisida alami);
- Penerapan system Agroforestry dalam peningkatan dan pemanfatan tanaman KaKao dan Kelapa sebagai salah satu alternatif peningkatan pendapatan masyarakat;
- Membuat sebuah bentuk panduan dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan yang bebasis pada kearifan lokal masyarakat yang diatur dan disyahkan oleh Keputusan Kepala Desa.